Kedua kelompok suku itu saling bersengketa terkait pembagian wilayah dan kekayaan sumber daya di dalamnya.
Insiden ini tentunya menjadi kabar mengejutkan bagi Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape yang berasal dari wilayah konflik Hela.
"Hari ini menjadi salah satu hari tersedih dalam hidup saya. Banyak anak dan para ibu tak berdosa tewas di Desa Munima dan Karida, daerah pemilihan saya," ucap Marape dikutip dari AFP, Rabu (10/7).
Marape juga menyalahkan tiga panglima perang yang melawan kelompok suku Tagali guna memperebutkan cadangan emas lokal tersebut.
"Penjahat bersenjata, waktu kalian telah habis. Saya tidak takut menggunakan tindakan terkuat berdasarkan hukum kepada kalian," kata Marape.
Namun, Marape tak menjabarkan lebih lanjut tindakan yang dimaksud. Ia hanya mengklaim bahwa jumlah personel yang ada sekarang tak memadai.
"Bagaimana bisa satu provinsi berpopulasi 400 ribu orang hidup di bawah hukum, tapi jumlah polisi hanya 60 orang. Operasi militer dan kepolisian hanya bisa untuk perbaikan," katanya.
Sementara itu, menurut media setempat, pecahnya serangan ini berkaitan dengan penyergapan dan pembunuhan enam orang sehari sebelumnya.
Kelompok suku di dataran tinggi tersebut memang telah berseteru cukup lama. Namun sejak adanya penggunaan senjata otomatis oleh pihak yang terlibat, perkelahian itu semakin memanas bahkan mematikan.
Konflik ini juga disebut-sebut sebagai bentrok terparah antarsuku di Papua Nugini selama beberapa tahun terakhir di mana hanya ada 40 personel polisi dan 16 tentara yang bertugas di lokasi kejadian.
Komandan kepolisian provinsi, Jacob Kamiak, menyebut bentrok antar kedua suku ini layaknya perang gerilya di mana mereka saling "bersembunyi dan membunuh satu sama lain."
Pihak kepolisian telah dikerahkan untuk mengawasi lokasi kejadian, namun kelompok suku tersebut ternyata pindah ke lokasi lain untuk melanjutkan peperangan mereka.
Akibatnya, polisi tak mampu menyusul ke lokasi dan gagal menghentikan aksi mereka.
"Polisi telah dikirim beberapa kali ke wilayah tersebut tapi perkelahian mereka telah berpindah ke semak belukar yang sulit diserbu oleh polisi," ujar Kamiak.
Pengelola Provinsi Hela, William Bando juga mengatakan pada Rabu (10/7) bahwa jumlah korban tewas mungkin akan bertambah.
"Kami masih menunggu laporan singkat hari ini dari para petugas kami di lapangan," ujar Bando.
Pihaknya juga telah mengerahkan setidaknya 100 polisi untuk diturunkan guna membantu 40 petugas lokal lainnya.
Bando juga melaporkan 35 perwira yang saat ini sedang mengamankan proyek gas ExxonMobil "harus dikerahkan untuk membantu mereka yang berada di lapangan guna memastikan keamanan para keluarga."
Sebelumnya, sekitar 24 orang, termasuk dua wanita hamil beserta anak yang dikandungnya ikut tewas dalam aksi saling serang antarsuku di provinsi Hela.
Bentrokan antarsuku memang kerap terjadi di wilayah dataran tinggi Papua Nugini, di mana perkelahian biasanya dipicu oleh aksi pemerkosaan, pencurian, atau perselisihan terkait batas-batas wilayah dan perebutan sumber daya sekitar.
Hingga kini, informasi lanjutan terkait perkelahian antar kelompok suku itu masih terus berkembang di wilayah terpencil itu. Namun, kekerasan terus mewarnai aksi saling serang dalam beberapa hari terakhir.
Sementara, di dekat Provinsi Enga, gelombang aksi kekerasan sejenis berhasil memicu pembentukan angkatan bersenjata militer tetap dan penyebaran sekitar 100 tentara pemerintah di bawah komando perwira yang dilatih Sandhurst.
Namun, pasukan itu nyatanya tak memiliki sumber daya yang memadai untuk mengatasi konflik di medan perang tersebut.
(ajw/dea)
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20190710170028-113-410951/kronologi-bentrok-berdarah-antarsuku-di-papua-nugini/
No comments:
Post a Comment