Sementara polisi India adalah kelompok penyidik di lembaga antirasuah itu yang baru hadir saat kejadian sudah selesai.
Pakar hukum dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menyebut penggunaan istilah polisi Taliban dan polisi India tidak tepat dan cenderung provokatif. Menurutnya, perbedaan pandangan di tubuh KPK merupakan hal yang wajar dan sudah ada sejak lama.
Namun, lanjutnya, perbedaan pandangan itu kian meruncing di era kepemimpinan Agus Rahardjo saat ini, terlebih usai munculnya kasus dugaan pelanggaran kode etik yang menyeret nama Firli selama menjabat Deputi Penindakan KPK.
"Saya kira persoalannya ada kaitannya dengan Firli. Kalau tidak ada kasus itu, ini koinsiden. Kebetulan ada persoalan itu yang meruncingkan perbedaan," ucap Agustinus kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/7).
Dia menyatakan, pimpinan KPK seharusnya bisa menjadi jembatan yang menyambung perbedaan pandangan di antara penyidik KPK yang direkrut secara langsung dengan yang ditugaskan dari institusi Polri atau Kejaksaan Agung.
Pasalnya, kata Agustinus, kepentingan antara penyidik yang direkrut dan ditugaskan dari institusi penegak hukum lain berbeda. Penyidik yang direkrut hanya bertanggung jawab pada pimpinan KPK, sementara penyidik yang ditugaskan masih memiliki tanggung jawab kepada institusi asalnya.
"Penyidik KPK kalau yang ditugaskan itu pimpinannya dua, dia suatu saat akan dikembalikan sehingga mungkin dia ada kepentingan untuk institusinya. Pimpinan KPK tugasnya bisa menyinergikan antara kelompok pegawai itu," ucap dia.
Untuk mengantisipasi ini, Agustinus menilai proses seleksi perwakilan institusi penegak hukum lain di kursi Komisioner KPK seharusnya tidak perlu restu dari institusi asalnya, seperti anggota Polri yang harus mendapatkan restu dari Kapolri lebih dahulu.
Novel Baswedan ikhlas dicap radikal jika untuk berantas korupsi. (CNN Indonesia/Setyo Aji Harjanto)
|
Menurutnya, restu seharusnya diberikan setelah terpilih menjadi bagian dari Komisioner KPK.
"Saya pikir siapa saja bisa mendaftar baik ada persetujuan atau tidak. Seharusnya, kalau sudah terpilih baru dia meminta izin seperti itu," ucapnya.
Agustinus menambahkan hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi komisioner KPK mendatang yang saat ini di tengah diseleksi oleh Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK.
Ditepis Eks Ketua KPK
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar mengaku khawatir isu polisi Taliban dan India tersebut sengaja diembuskan orang-orang yang tidak suka dengan KPK. Antasari berkata dikotomi polisi taliban dan polisi India tidak pernah ada semasa dirinya menjabat sebagai Ketua KPK pada 2007 hingga 2009.
Dia pun menyatakan Novel, yang selama ini dipersepsikan sebagai anggota kelompok polisi Taliban, merupakan penyidik yang cerdas dan bagus dalam menangani kasus.
"Pada dasarnya kalau kami gelar perkara kayak guru dan murid. Karena dulu saya selalu ingin tahu kenapa begini kenapa begitu," ujar Antasari.
Eks Ketua KPK Antasari Azhar. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
|
Dia menduga isu keberadaan kubu polisi Taliban dan polisi India di internal KPK akan dijadikan alasan untuk melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Pansel Capim KPK.
Terpisah, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo menampik isu radikal yang dihembuskan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tentang pegawai KPK yang mengenakan jilbab, celana cingkrang dan berjenggot.
Menurutnya, selama KPK berdiri hingga saat ini tidak ada satu pun pegawai yang terkait atau terlibat dalam aksi terorisme, komunisme, ataupun gerakan radikal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Novel sendiri sudah angkat bicara dan menyatakan tidak masalah bila dirinya mendapat julukan radikal karena menangkap koruptor.
"Kalau persepsinya adalah ternyata menangkap koruptor dan tidak kompromi dengan koruptor, saya ikhlas disebut radikal," kata Novel di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/6).
Ia pun mempertanyakan cap radikal yang disematkan kepadanya. Novel heran penampilannya yang berjenggot dan terkadang bercelana cingkrang dicap seperti itu. Menurut dia, orang berpaham bahwa penampilan seperti itu radikal, kurang berwawasan.
"Justru ketika seseorang mempunyai jenggot seperti saya kadang menggunakan celana yang sedikit sesuai dengan sunah rasul, terus dipermasalahkan?" tanya Novel.
Eks komisioner KPK Bambang Widjojanto ikut tertuduh masuk kelompok Taliban. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Sebelumnya, pegiat media sosial Denny Siregar menulis artikel 'Ada Taliban di Dalam KPK?' di akun Facebook pribadinya pada 13 Juni 2019. Isu itu sebetulnya pertama kali disuarakan oleh Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.
Denny mengaku kurang tahu dengan yang dimaksud Neta polisi India di tubuh KPK. Namun terkait polisi taliban, Denny menduga istilah itu bermaksud untuk menunjuk kelompok agamis dan ideologis di lembaga antirasuah.
Menurut Denny, Novel Baswedan dan mantan komisioner KPK Bambang Widjojanto sebagai bagian dari kelompok polisi Taliban. Menurut dia, polisi Taliban memiliki posisi sangat kuat di KPK dan bisa menentukan kasus mana yang harus diangkat ke permukaan atau dikandangkan.
Neta dalam keterangan tertulisnya sayangnya tidak menjelaskan secara rinci terkait sosok-sosok yang berada di kelompok polisi Taliban atau India itu.
Ia hanya berkata bahwa kedua kelompok tersebut telah melakukan aksi saling mencakar yang masuk tahap mengkhawatirkan dan berbahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Aksi cakar-cakaran itu, menurutnya, semakin memanas tatkala jajaran pimpinan tak merespon petisi dan surat terbuka dari para penyidik KPK yang menyinggung isu integritas hingga dugaan obstruction of justice.
"Di KPK muncul isu adanya perang Bubat antara kelompok polisi India dan kelompok polisi Taliban," ucap Neta.
[Gambas:Video CNN] (mts/DAL)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190702164035-12-408358/kisruh-polisi-taliban-vs-india-jelang-seleksi-pimpinan-kpk/
No comments:
Post a Comment