Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman merangkap Ketua Satuan Tugas Montara Purbaya Yudhi Sadhewa mengatakan pemerintahan Australia sempat 'lepas tangan' dengan kasus Montara. Mereka mengklaim hal itu menjadi tanggung jawab manajemen PTT Exploration and Production (PTTEP) Thailand.
Padahal, kata dia, Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation Convention on The Law of The Sea/UNCLOS) menyebutkan bahwa suatu negara diwajibkan menjaga aktivitas negaranya agar tak mencemari atau memberikan pengaruh negatif ke negara lain.
"Jadi kalau mereka (Australia) diam saja, ini ngomongnya halus ya, kami akan ambil alternatif pakai pengadilan internasional. Jadi ini kalau diperlukan, sifatnya pemerintah ke pemerintah," tutur Purbaya, Selasa (2/7).
Sejauh ini, lanjut dia, sikap pemerintahan Australia memang sudah berubah dari semula mengelak, kini menjadi lebih kooperatif.
"Mereka sangat positif, membantu apa saja yang perlu dibantu, katanya kasih tahu saja," terang dia.
Bahkan, Purbaya menyatakan Indonesia kini memiliki layanan sambungan telepon langsung (hotline) ke Australia. Hal itu otomatis mempermudah komunikasi antar kedua pemerintahan ini.
"Jadi sebelumnya susah sekali, sekarang lebih baik komunikasinya.
Ia akan terus memantau perkembangan sidang kasus Montara hingga selesai. Menurutnya, hasil persidangan baru akan diumumkan pada pertengahan tahun depan.
Jika memang di tengah perjalanan sikap pemerintahan Australia kembali mengeras, bukan tidak mungkin Indonesia langsung melayangkan gugatannya ke Negeri Kanguru tersebut.
"Kami lihat perkembangan, tidak tertutup (laporkan ke pengadilan internasional) lebih dini (sebelum pengumuman hasil sidang). Tapi bisa juga tidak dilaporkan, ini tergantung komunikasi nanti," tegas Purbaya.
Diketahui, PTTEP Thailand dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tumpahan minyak Montara di Laut Timor yang mencemari perairan Indonesia.
[Gambas:Video CNN]
Akibat tumpahan tersebut, petani rumput laut di Pulau Rote Nusa Tenggara Timur (NTT) kehilangan mata pencaharian sejak Agustus 2009. Mereka menggugat ganti rugi lebih dari US$137 juta atau sekitar Rp1,9 triliun (kurs Rp14.335 per dolar AS) kepada PTTEP Thailand di Pengadilan Australia. (aud/lav)
No comments:
Post a Comment