Hal itu mengingat besaran pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) lebih tinggi dibanding iuran ekspor produk turunannya.
"(Pungutan ekspor) ini supaya pengusaha-pengusaha di sektor sawit tidak hanya bermain di sektor CPO, tetapi dia juga harus bermain di produk turunan," ujar Ketua Umum DPP APKASINDO Gulat ME Manurung usai menghadiri Pengukuhan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) di Jakarta, Selasa (9/7).
Sejak akhir tahun lalu, pemerintah membuat kebijakan tidak mengenakan pungutan ekspor sawit karena rendahnya harga CPO.
Kebijakan ini kemudian disempurnakan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.05/2019 tentang perubahan kedua atas PMK Nomor 81/PMK.05/2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada Kementerian Keuangan.
Dalam beleid tersebut, ekspor CPO dan produk turunananya dengan harga di bawah US$ 570 per ton tidak dikenakan pungutan ekspor.
Selanjutnya, CPO dan produk turunan dengan harga antara US$570 - US$619 per ton dikenakan tarif pungutan bervariasi sesuai jenis di rentang US$5 hingga US$25 per ton. Kemudian, CPO dan produk turunan dengan harga di atas US$619 per ton juga akan dikenakan tarif bervariasi sesuai jenis di kisaran US$10 hingga US$50 per ton.
Berdasarkan penetapan Kementerian Perdagangan (Kemendag), harga Crude Palm Oil (CPO) untuk penetapan Bea Keluar (BK) periode Juli 2019 adalah US$542,45 per MT. Artinya, saat ini, tidak ada pungutan ekspor sawit.
Menurut Gulat, pembebasan pungutan tidak berdampak signifikan terhadap harga Tanda Buah Segar (TBS) yang diterima petani.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, harga TBS ke petani plasma di sejumlah daerah masih di bawah Rp1.500 per kg. Di Sumatera Selatan, misalnya, harga TBS umur 10 - 20 tahun saat ini masih di kisaran Rp1.225 per kg.
Kemudian, harga TBS untuk sawit umur 10 - 20 tahun ada di kisaran Rp1.357 per kg. Harga yang diterima petani nonplasma (mandiri) dari pabrik kelapa sawit (PKS) bisa lebih rendah sekitar 30 persen dari harga yang diterima petani plasma. Padahal, sekitar 93 persen petani sawit merupakan petani mandiri.
"Tahun lalu, harganya masih di kisaran Rp1.800 per kg," ujarnya.
Menurut Gulat, penurunan harga TBS lebih karena sikap wait and see pelaku usaha agribisnis. Salah satu penyebabnya adalah tekanan Uni Eropa terhadap produk minyak kelapa sawit Indonesia.
Pemerintah, lanjut Gulat, sudah memberikan alternatif dengan menyerap CPO di dalam negeri melalui program pemanfaatan biodiesel. Selain itu, pemerintah juga melakukan diplomasi ke negara lain untuk membuka pasar baru.
Namun, menurut Gulat cara ini tidak cukup. Perlu solusi jangka panjang untuk meningkatkan harga, khususnya harga di tingkat petani. Solusi itu adalah hilirisasi produk sawit.
Dengan peningkatan hilirisasi, permintaan TBS akan lebih stabil sehingga bisa mengerek harga TBS di tingkat petani. Di saat yang sama, Indonesia bisa menahan dampak kampanye negatif minyak kelapa sawit. dari Uni Eropa.
Saat ini, Apkasindo mulai melakukan hilirisasi produk. Alih-alih bergantung pada penjualan ke perusahaan, anggota sudah ada yang membangun pabrik minyak goreng skala kecil di Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Selatan. Di tahap awal, produksi minyak goreng masing-masing pabrik hanya 500 kg per hari. Namun, skala tersebut akan ditingkatkan hingga mencapai 5 ton pada tahun depan.
[Gambas:Video CNN]
"Pabrik mini ini adalah salah satu jawaban kepada petani ketika ia sudah tidak mampu lagi menerima harga di pasar atau pedagang pengumpul," ujarnya.
Berdasarkan data Apkasindo, luas perkebunan rakyat tahun lalu mencapai 5,81 juta hektare atau sekitar 40 persen dari total luas perkebunan sawit. Adapun Kontribusi perkebunan rakyat mencapai 13,99 juta ton atau sekitar 34,48 persen dari total produksi nasional. (sfr/lav)
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190709160744-92-410575/petani-sawit-desak-pemerintah-pungut-ekspor-cpo/
No comments:
Post a Comment